Senin, 28 Februari 2011

Penghalang Meraih Ilmu

 
Sungguh menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslimin yang harus dipenuhi setiap muslim pada Rabb-Nya.  Alloh subhanallahu wata’ala membedakan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Allah Ta’ala berfirman: “Katakan, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” (QS. Az-Zumar: 9). Demikian juga: “Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS: Al-Mujaadalah: 11)
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda “Menuntut ilmu kewajiban bagi setiap Muslim.” [HR. Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri] 
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan, syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi, perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan kewajibannya.
Ternyata dalam menuntut ilmu terdapat rintangan-rintangan atau kerikil-kerikil tajam sehingga seorang muslim terhalang dari keberkahan ilmu yang semestinya dia capai. Maka perlu diketahui pada setiap muslim hal apa saja yang dapat menghalanginya dari keberkahan ilmu dan dihindarkan ada pada dirinya.
Rintangan menuntut ilmu

1.       Tidak ikhlas dalam menuntut llmu
Sifat-sifat penuntut ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam adalah ikhlas dalam menuntut ilmu. Sebab dengan keikhlasan ini akan menghantarkan seseorang kepada tingkatan hamba yang sangat butuh kepada ilmu dan membentenginya dari riya’ (ingin dipuji oleh orang lain) dan sebagainya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari apa-apa yang dia cari dengannya wajah Allah Azza wa Jalla. Tidaklah dia belajar kecuali untuk memperoleh bagian dari dunia, maka dia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat.” [HR Ibnu Majah, Al Muqadimah 1/252 dan Ahmad, Al Musnad 2/338]

2.       Tidak bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu
Bersungguh-sungguh dan berkeinginan keras dalam mencari ilmu sangat menentukan keberhasilan memperoleh ilmu. Terlebih lagi dalam menuntut ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Diriwayatkan bahwa dahulu seorang laki-laki datang kepada Abu Hurairah, ia berkata: aku ingin belajar ilmu dan aku khawatir akan menyia-nyiakannya. Abu Hurairah menjawab, cukuplah jika engkau tidak menyia-nyiakannya [Dakwah Islam Dakwah Bijak, Dr. Said bin Ali bin Wahif Al Qahthani].
Ketika ditanya tentang bagaimana cara memperoleh ilmu, sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa cara memperoleh ilmu adalah dengan kemauan keras, senang mendengar dan mencarinya, mengajarkan kepada yang tidak tahu, dan belajar kepada yang tahu. Jika hal itu telah dilakukan, berarti kita telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dan memelihara sesuatu yang telah kita ketahui. Dalam kaitan ini, Imam Syafi'i mengatakan. Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama .

3. Maksiat


Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. Hal ini merupakan faktor terpenting untuk memperoleh ilmu. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon/pembeda... (Al Anfal: 29). Ayat ini menegaskan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi ilmu, sehingga ia akan mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Imam Syafi'i pernah mengeluh kepada Waki' (guru) tentang kesulitannya dalam menghafal. Kemudian Imam Waki’ berkata kepada Imam Syafi'i, “ilmu itu merupakan cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

4.       Sombong dan malu
Tidak sombong (merendahkan seseorang, menolak kebenaran) dan tidak malu bertanya dalam mencari ilmu. Aisyah pernah mengatakan,Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu bertanya tentang agama.
Dari Ummu Salamah, dia berkata. 'Ummu Sulaim pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata. 'Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak merasa malu dari kebenaran. Lalu apakah seorang wanita itu harus mandi jika dia bermimpi ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab. 'Jika dia melihat air (mani)'. Lalu Ummu Salamah menutup wajahnya, dan berkata. 'Wahai Rasulullah, apakah wanita itu juga bisa bermimpi ? 'Beliau menjawab. 'Ya, bisa'. Maka sesuatu yang menyerupai dirinya adalah anaknya".

 5. Tidak mengamalkan ilmu

Apa yang telah didapat dalam menuntut ilmu hendaknya diamalkan agar mendapat keberkahan dari ilmu yang dituntutnya. Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al-Kahfi :18)

Kita memohon kepada Allah agar dibukakan pintu hati kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mencurahkan kepada jiwa kita perasaan cukup terhadap nikmat-nikmat yang diberikan-Nya.

Dimana Allah....?


Kita mendapati di antara kaum muslimin di zaman ini, bermacam-macam keyakinannya atas pertanyaan “Dimana Allah?”. Di antaranya ada yang berkeyakinan bahwa (secara dzat-Nya) Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di hati, bahwa Allah itu berada dimana-mana, bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher, bahwa Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bersatu dengan hamba-Nya. Lebih parah lagi, ada juga yang berkeyakinan bahwa Allah itu tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di depan, dan tidak pula di belakang. Sungguh ini adalah pernyataan yang sangat lucu. Lantas dimana Allah?!. Padahal kalau kita mau mengikuti fitrah kita yang suci, sebagaimana fitrahnya anak yang masih kecil, pemikiran mereka yang masih polos. Kita akan dapati jawaban dari lisan-lisan kecil mereka, jikalau mereka ditanya, “Dimana Allah?” Mereka akan menjawab, “Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit”.
Aqidah (keyakinan) tentang keberadaan Allah di langit (artinya, di atas Arsy), ini telah dijelaskan dalam Kitabullah, As-Sunnah, ijma’, dan komentar para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam kitab-kitab mereka. Mereka sudah patenkan (tetapkan) bahwa barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia adalah ahli bid’ah, dan menyimpang.
Dalil-dalil masalah ini sangatlah banyak dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Berikut ini kami akan sebutkan -insya Allah- beberapa di antaranya saja, dan sebenarnya tidak terbatas.
Dalil dari al-Qur’an
·         “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy (singgasana)”. (QS. Thoha: 5)
·         “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy”. (QS. Al A’raf: 54)
·         “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan”. (QS. Yunus: 3)
·         “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy”. (QS. Ar Ra’d: 2)
·         “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy”. (QS. Al-Furqon: 59)
·         “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy”. (QS. As-Sajadah: 4)
·         “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS. Fathir: 10)
Al-Hafizh Al-Baihaqy-rahimahullah- berkata dalam Al-I’tiqod (1/114), “Ayat-ayat itu merupakan dalil yang membatalkan pendapat orang Jahmiyyah yang menyatakan bahwa Dzat Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada dimana-mana”.
Dalil dari Hadits
·         Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Ketika Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menciptakan makhluk-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menuliskan di dalam kitab-NYa (Lauh Mahfudz) yang ada di sisi-Nya di atas Arsy (singgasana) ‘Sesungguhnya rahmat Allah mendahului kemurkaan-Nya.” [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3022, 6969, dan 6986), dan Muslim dalam Shohih-nya (2751)]

·         Dari Abu Sa’id Al-Khudri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
 “Tidakkah kalian percaya kepadaku? Sementara aku dalam keadaan beriman kepada Yang di langit. Datang kepadaku berita dari langit di waktu pagi hari dan petang…”. [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (4094), Muslim dalam Shohih-nya (1064)]
Perkataan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Al-Qurthuby -rahimahullah- dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (7/219) berkata, “Tidak ada seorang salaf pun yang mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan karena ia merupakan makhluk Allah yang terbesar. Para salaf tidak (berusaha) mengetahui cara Allah bersemayam, karena sifat bersemayam itu tidak bisa diketahui hakekatnya. Imam Malik -rahimahullah- berkata: [‘Sifat bersemayam itu diketahui maknanya secara bahasa, tidak boleh ditanyakan cara Allah bersemayam, dan pertanyaan tentang cara Allah bersemayam merupakan bid’ah dan ajaran baru”].
Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (7/129), “Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas Arsy, di atas langit ketujuh sebagaimana yang ditegaskan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Itu juga merupakan hujjah mereka terhadap orang-orang Mu’tazilah yang berkata: “[Allah berada di mana-mana, bukan di atas Arsy]”.Dalil yang mendukung kebenaran madzhab Ahlis Sunnah dalam hal ini adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Ar-Rahman bersemayam di atas Arsy” dan firman-Nya Azza wa Jalla: “Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy…”.
Imam Al-Qurthuby-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (4/162): “Jahmiyyah terbagi menjadi 12 kelompok … (di antaranya) Al-Multaziqoh, mereka menganggap bahwa Allah berada di mana-mana …”.
Shodaqoh-rahimahullah- berkata, “Saya mendengar At-Taimy berkata,“Andaikan aku ditanya : Dimana Allah Tabaraka wa Ta’ala?, niscaya aku akan jawab: Dia di langit”. [Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/671)]
Imam Malik bin Anas-rahimahullah- berkata, “Allah berada di langit, sedang ilmu-Nya berada di mana-mana, tidak ada satu tempatpun yang kosong dari ilmu-Nya”.[Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/673)]
Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- pernah ditanya, “Allah -Azza wa Jalla- berada di atas langit yang ketujuh, di atas Arsy terpisah dari makhluk-Nya. kemampuan dan ilmu-Nya berada di mana-mana?” Beliau Jawab : “Ya, Dia berada di atas Arsy. Sedang tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu-Nya”. [Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401-402/674)]
Imam Ahmad -rahimahullah- juga berkata, “Jika anda ingin mengetahui bahwa seorang Jahmiyyah itu berdusta atas nama Allah, yaitu saat ia menyangka bahwa Allah berada dimana-mana”.[Lihat Ar-Rodd ala Az-Zanadiqoh wa Al-Jahmiyyah (1/40)]
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Adapun firman Allah Ta’ala :
 “Lalu Dia bersemayam di atas Arsy”.
Orang-orang memiliki pendapat yang sangat banyak dalam masalah ini, tapi sekarang bukan saatnya kita paparkan. Dalam masalah ini kita harus mengikuti madzhab Salafush Sholeh, seperti Imam Malik, Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Al-Laits bin Sa’d, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rohuyah, dan lainnya dari kalangan ulama-ulama kaum muslimin baik dulu maupun sekarang. Madzhab mereka adalah menjalankan dan memahami sifat-sifat tersebut sebagaimana ia datang, tanpa perlu dibicarakan cara/bentuknya, atau diserupakan dengan sifat makhluk dan dihilangkan maknanya. Sedang yang terbayang dalam benak orang-orang Musyabbih (orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya)tersucikan dari Allah, karena tidak ada seorang makhlukpun yang menyerupai-Nya [‘Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Sedang Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’]. Bahkan inti permasalahannya sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama, seperti Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’iy. Beliau berkata : [‘Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang menolak sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Tidak ada penyerupaan pada sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya. Barangsiapa yang menetapkan (sifat) bagi Allah sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat yang gamblang, dan hadits-hadits shohih dengan bentuk yang sesuai dengan kemuliaan Allah dan menyucikan segala kekurangan dari Allah, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang lurus”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/221)]
Dari semua dalil-dalil, dan pernyataan ulama salaf tersebut menunjukkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy (singgasana), sedang Arsy Allah berada di atas langit, bukan dimana-mana. Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengimani dengan keimanan yang kokoh, tanpa ragu terhadap semua dalil-dalil yang menerangkan hal tersebut, dan menghadapinya sebagaimana ia datang, tanpa takwil, dan tanpa menanyakan cara Allah bersemayam, atau menyerupakannya dengan makhluk-Nya.
Jadi, madzhab Ahlis Sunnah menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, namun ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Adapun aqidah yang menyatakan bahwa Allah berada dimana-mana, bukanlah merupakan aqidah Ahlis Sunnah, akan tetapi merupakan aqidah ahli bid’ah yang batil berdasarkan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah di atas Arsy beserta keterangan Ulama Ahlis Sunnah yang telah kami sebutkan.
Ini adalah aqidahnya para nabi, para sahabat, para tabi’in, dan para pengikut tabi’in sebagai generasi terbaik dari umat ini dalam memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena merekalah yang menyaksikan turunnya wahyu, dan sebab sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- diucapkan oleh beliau.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufiq dan pemahaman yang lurus serta agar kita termasuk dari golongan mereka dan dijauhkan dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang.
Allahu ta‘ala a’lam.

MENGAKUI RUBUBIYAH ALLAH SAJA TIDAKLAH CUKUP


Pembaca yang mudah-mudahan dirahmati Allah. Setiap kita meyakini akan keberadaan Allah, Dzat yang menciptakan alam semesta beserta isinya, dimana kita melihat tatasurya yang begitu mengagumkan berjalan dalam keteraturan sesuai kehendak-Nya, Dia menjadikan hamparan langit terpancang kokoh tanpa tiangnya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikan semua ciptaan-Nya, Dia yang menurunkan hujan atau menahannya, Dia menjadikan hujan tersebut bermanfaat bagi segenap mahluk-Nya, Dia memberikan setiap hamba rizkinya, hanya Dia pula yang mampu untuk menolak penyakit, mudlorot, bala dan musibah yang menimpa kaum muslimin secara khusus dan umat manusia secara umum.

Beberapa keyakinan seperti yang telah kami sebutkan diatas merupakan keyakinan ataupun kepercayaan yang juga diyakini oleh kaum musyrikin pada saat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam diutus ditengah-tengah mereka. Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menggambarkan keyakinan mereka,

"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: 'Allah', ..." [Az-Zukhruf : 87]

"Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?', niscaya mereka akan menjawab: 'Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui" [Az-Zukhruf : 9]

"Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab: "Allah". [Yunus : 31]

Perhatikan pula bukti-bukti bahwa kaum musyrikin dizaman dahulu telah mengakui rububiyah (perbuatan-perbuatan yang khusus hanya Allah saja yang mampu melakukannya) Allah berikut ini,

Bukti pertama, yakni perkataan Abdul Muthtalib tatkala Ka’bah akan dihancurkan oleh pasukan Abrahah, “Aku adalah pemilik onta-onta itu. Adapun rumah itu (Ka’bah) mempunyai pemilik yang akan memeliharanya”. [Baca buku As Sirah An Nabawiyyah Fi Dhaui Al Qur`an Wa As Sunnah, dan Ar Rahiqul Makhtum]

Bukti kedua, yakni perkataan kaum musyrikin tatkala mereka bertalbiyah, “Kami memenuhi panggilanmu Ya Allah, kami memenuhi panggilanmu, tidak ada sekutu bagiMu, kecuali sekutu milik-Mu yang Engkau menguasainya dan dia tidak memiliki apa-apa". (Lihat Buku Tafsiir Al-Qur'aan Al-'Adziim 10/528, Buku Tafsir At-Thobari 13/376 dan hadits riwayat Imam Muslim No. 2872)

Bukti ketiga, banyak orang-orang Arab yang bernama Abdullah sebelum dilahirkannya Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wa sallam. Diantaranya adalah ayah Nabi yang bernama Abdullah. Dan Abdullah artinya hamba Allah, maka hal ini menunjukan bahwa mereka sudah mengenal Allah meskipun Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wa sallam belum dilahirkan.

Penyimpangan Tauhid Rububiyah
Sungguh kita hidup pada zaman dimana kekeliruan itu semakin jelas bagi orang-orang yang Allah karuniakan pemahaman agama yang baik. Dengan pemahamannya atas agama Allah ini, mereka akan berjalan dengan pasti. Mereka berjalan dengan keyakinan yang mantap dimana sebuah kesalahan itu akan tetap merupakan kesalahan, dan kebenaran terlihat sebagai sebuah kebenaran. Mereka tidak tergoyahkan karena cahaya ilmu yang Allah anugerahkan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?“ (Al-An’am : 122).

Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kutinggalkan kalian di atas agama yang terang, malamnya bagaikan siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya sepeninggalku kecuali orang yang binasa” (HR Ibnu Majah No 43 dari Irbadh bin Sariyah, dinilai shahih oleh al Albani).

Penyelisihan atas tauhid rububiyah terjadi tatkala kita meyakini bahwa Allah memiliki sekutu yang juga mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang merupakan kekhususan bagi Allah azza wajalla. Kita meyakini bahwasannya Allah Ta’ala yang mengatur alam semesta beserta isinya. Beberapa contoh penyelisihan terhadap tauhid rububiyah diantaranya,
1)      Keyakinan bahwa Dewi Sri yang memberikan kesuburan atas setiap petak sawah dan ladang, padahal kesuburan maupun paceklik terjadi atas kehendak Allah
2)      Keyakinan bahwa Nyi Roro Kidul yang menguasai pantai selatan, sehingga menyandarkan kemakmuran penduduk maupun kesempitan terjadi atas sebab sang ratu pantai selatan
3)      Keyakinan bahwa kekuatan baik dan kekuatan jahat yang berbuat secara mandiri dialam ini
4)      Keyakinan bahwa wali-wali kutub memiliki hak untuk mengatur daerah-daerah tertentu.
5)      Keyakinan akan adanya pawang hujan, ataupun mereka yang mampu memindahkan penyakit dari mahluk ke mahluk yang lain.

Konsekuensi Meyakini Rububiyah Allah
Ayat-ayat yang menggambarkan keyakinan kaum musyrikin dahulu atas rububiyah Allah banyak sekali akan kita jumpai didalam Al-Qur'an. Maka barangsiapa yang mengira bahwa tauhid itu cukup dengan hanya meyakini wujud Allah, atau meyakini bahwa Allah adalah Al-Khaliq yang mengatur alam, pencipta, pemberi rizki, mendatangkan manfaat atau menolak bala’ maka sesungguhnya orang tersebut belumlah mengetahui hakikat tauhid yang dibawa oleh para rasul. Keyakinan seorang hamba atas rububiyah Allah mewajibkan dia untuk mentauhidkan Allah dalam uluhiyyah. Memurnikan peribadahan kita dari sholat, puasa, nadzar, haji, menyembelih, pengagungan, penghormatan, rasa takut, do'a, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam, semua itu wajib secara akal, syara' dan fitrah agar ditujukan khusus kepada Allah semata. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." [Al-Baqarah : 21-22]

Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyembah-Nya dan beribadah kepada-Nya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, yaitu penciptaanNya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba. Maka sangat tidak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah dengan selain-Nya; dari benda-benda atau pun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak mampu melakukan satu pun dari hal-hal yang tersebut pada ayat di atas.

"Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah Pemilik langit yang tujuh dan Pemilik `Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [Al-Mu'minun : 84-89]

"(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah dengan benar) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; ..." [Al-An'am : 102]

Dia berdalil dengan tauhid rububiyah-Nya atas hak-Nya untuk disembah. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." [Adz-Dzariyat : 56]

Makna "ya'buduun " adalah mentauhidkan-Ku dalam ibadah. Seorang hamba tidaklah menjadi muwahhid hanya dengan mengakui tauhid rububiyah semata, tetapi ia harus mengakui tauhid uluhiyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun telah mengakui tauhid rububiyah, tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk dalam Islam, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Wallohu a’lam

Minggu, 06 Februari 2011

“LAA ILAAHA ILLALLAH” KALIMAT YANG SANGAT AGUNG

                Para pembaca yang dirahmati Allah ,  kita tentu sering mendengar sebuah kalimat yang tidak asing ditelinga kita, kalimat yang setiap hari seorang muslim mengucapkannya dan mengulang-ulang membacanya yaitu kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Banyak orang yang tau dan lancar mengucapkannya tetapi tidak semua orang mengetahui maknanya secara benar.
 Begitu pentingnya pembahasan ini kami berusaha untuk mengupas secara ringkas kepada para pembaca agar sebagai seorang muslim kita bisa memahami dengan benar makna dibalik syahadat “Laa Ilaaha Illallah”.

Makna yang Benar Tentang Syahadat “Laa Ilaaha Illallah”
Para pembaca yang dirahmati Allah ,  Syahadat “ Laa Ilaaha  Illallah adalah kalimat yang sangat agung, kalimat tauhid yang pertama kali seorang muslim wajib mengucapkannya, merupakan rukun Islam yang pertama sekaligus menjadi pintu pembuka keislaman seseorang. Berdasarkan Hadits dari Ibnu Umar ,  Ia berkata, Nabi  bersabda:

 “Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, menunaikan haji ke Baitullah dan puasa dibulan Ramadhan.” ( H.R Bukhori dan Muslim)

Dari hadits di atas jelaslah sudah bagi kita bahwa Islam itu dibangun atas lima rukun dan rukun yang pertama adalah mengucapkan persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah  saja dan mengucapkan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah . Selain itu syahadat Laa Ilaaha Illallah juga merupakan cabang iman yang paling tinggi sebagaimana Nabi  bersabda:

Artinya: “ Iman terbagi menjadi lebih dari tujuh puluh cabang, yang tertinggi adalah persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah…” (HR. Muslim) 

        Adapun makna dari Syahadat Laa Ilaaha Illallah yang benar sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan Hafidzahullah yaitu:” Syahadat Laa Ilaa Haillallah berarti beri’tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. Laa Ilaaha berarti menafikan hak penyembahan dari selain Allah siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah”. Syahadat ini mengharuskan seseorang mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada sesembahan yang benar dan patut untuk disembah melainkan hanya Allah semata (dikutip dari majalah Assunah dalam situs www.almanhaj.or.id).
     
Urgensi Syahadat “Laa IlaaHa Illallah
Syahadat “Laa Ilaaha Illallah” mungkin hanyalah sebuah kalimat yang ringkas, mudah diucapkan dan sering terdengar dari lisan-lisan kaum muslimin namun jika kita melirik sejenak di lingkungan kita masih banyak orang yang mengaku muslim dan mengucapkan Syahadat Laa Ilaaha Illallah namun ucapannya dan persaksiannya tidak selaras dengan perbuatannya. Kalimat ini adalah kalimat tauhid yang setiap manusia wajib mengakui, meyakini dan mengamalkannya.
Setelah kita mengucapkan, bersaksi dan meyakini bahwa hanya Allah saja yang patut diibadahi dan disembah wajib bagi setiap muslim untuk menjalankan konsekuensinya yaitu meninggalkan semua bentuk-bentuk peribadatan yang bernuansa syirik. Allah  berfirman:

Artinya: “sembahlah Allah saja dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatupun.” (QS. An-Nisaa’:36)

Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka menetapkan Ilah yang sudah dinafikan baik berupa para makhluk, kuburan, bebatuan serta para thaghut lainnya. Banyak ditemukan orang yang mengaku beragama Islam tetapi ketika Allah beri ujian dengan sedikit kesusahan mereka memohon pertolongan kepada selain Allah. Ketika ditanya “kenapa engkau meminta tolong kepada dukun untuk menyembuhkan penyakit? Mereka menjawab: namanya juga usaha, lagi pula kami hanya sekedar meminta tolong bukan menyembah, kami juga tidak sujud kepadanya…”. Yang menjadi perhatian disini bukanlah larangan meminta tolong kepada manusia, tetapi kita mesti melihat bagaimana cara orang itu menolong. Pada asalnya meminta tolong kepada manusia itu boleh, asalkan dalam upaya membantu orang yang minta tolong ia tidak bersekutu dengan jin, tidak menggunakan jampa-jampi, benda-benda keramat dan perbuatan syirik lainnya yang intinya ada keyakinan-keyakinan kepada makhluk yang menyamai keyakinan kepada Allah . Ada yang mendatangi kuburan dan berdoa disisi kuburan yang dianggap keramat. Ada pula yang membuat sesajen untuk para leluhur karena takut roh leluhur marah dan masih banyak ibadah-ibadah yang menandingi ibadah kepada Allah. Sadar atau tidak sadar perbuatan mereka telah menandingi Allah dalam peribadatan. Sebagaimana Allah berfirman:

Artinya:”dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (QS. Al-Baqarah:165)

Padahal sesungguhnya sesembahan-sesembahan selain Allah  sendiri mereka mencari jalan kepada Tuhan mereka. Allah  berfirman:

Artinya:”Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmatnya dan takut akan adzab-Nya;sesungguhnya adzab tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti (QS Al-Israa:57)

Jika kita cermati, pintu keislaman seseorang adalah dengan mengucapkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang tentunya tidak sekedar diucapkan dengan lisan karena ini sebuah bentuk perjanjian yang mewajibkan kita untuk menjalankan konsekuensinya. Berarti jika ibadah-ibadah yang bernuansa syirik dilakukan seorang muslim berarti dia telah membatalkan perjanjian, membatalkan syahadat “Laa Ilaaha Illallah” yang berarti membatalkan keislaman seseorang.

Allah berfirman :
Artinya :“sesunggunya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendakiNya”. (Q.S An – Nisaa’:72)

Artinya: “sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidak ada bagi orang-orang yang zhalim itu seorang penolongpun”. (Q.S Al-Ma’idah:72)
     
      Oleh karena itu jika amalan yang kita lakukan selama ini masih bercampur antara tauhid dan syirik maka sudah saatnya kembali kepada tauhid semurni-murninya dan apabila kita menjumpai kesyirikan kita ajak mereka untuk kembali menegakkan panji tauhid karena dakwah para rasul adalah dakwah kepada Laa Ilaaha Illallah.Allah  berfirman:
Artinya:”Dan sesungguhnya para rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):”Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut itu”.” (QS An-Nahl:36)

Syarat-Syarat Syahadat Laa Ilaaha Illallah
1.       ‘Ilmu (mengetahui) : Maksudnya orang yang bersaksi dengan Laa Ilaaha Illallah , memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkannya tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksiannya tidak berguna.
2.       Yaqin : Orang yang mengikrarkan harus meyakini kandungan syahadat itu. Tidak boleh baginya meragukan sedikitpun.  Jika ia meragukannya maka sia-sia perkataanya itu.
3.       Qabul (menerima): Menerima kandungan dan menerima konsekuensinya sekalipun konsekuensi itu bertentangan dengan hawa nafsunya dan bertentangan dengan ajaran nenek moyang. Seandainya ada yang mengikrarkan Laa Ilaaha Illallah, tetapi masih menyembah kuburan, masih percaya pada roh leluhur, meminta tolong pada orang yang bersekutu dengan makhluk halus berarti dia belum menerima.
4.       Inqiyad (patuh): Patuh pada ketetapan-ketetapan Allah dengan ikhlas dan penuh ketaatan.
5.       Ikhlas: Yaitu membersihkan amalan-amalan dari nuansa-nuansa syirik.
6.       Shidq (jujur): Mengucapkan dengan lisannya dan membenarkan dalam hatinya.
7.       Mahabbah (kecintaan): Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai dan tidak mencela orang yang mengamalkan konsekuensinya sekalipun amalan itu bertentangan apa yang kita terima dari nenek moyang sebelumnya. Ahli tauhid itu, mereka sangat mencintai Allah dengan cinta yang tulus, sedangkan ahli syirik, mereka mencintai Allah tetapi mereka  juga mencintai tandingan-tandinganNya.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan diantaranya:
1.       Syahadat Laa Ilaaha Illallah tidak sekedar diucapkan tetapi harus diketahui maknanya dan dijalankan konsekuensinya.
2.       Syirik dapat membatalkan ikrar Laa Ilaaha Illallah yang berarti dapat membatalkan keislaman seseorang.
3.       Wajibnya seorang muslim mentauhidkan Allah .
4.       Tauhid sebagai pondasi dasar dalam Islam.
5.       Inti dakwah para Rasul adalah menegakkan tauhid, bukan mengajak kepada golongan atau kelompok-kelompok tertentu.