Minggu, 13 Maret 2011

Semua Ibadah Hanya Untuk Allah

SEMUA IBADAH HANYA UNTUK ALLAH

Segala puji bagi Allah yang menjadikan segala sesuatu dengan ukuran dan ketetapan yang pasti. Segala puji bagiNya yang tidak menciptakan segala kenyataan dan peristiwa dengan sia-sia. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman

Semoga Allah membimbing kita untuk taat kepada-Nya. Islam yang merupakan tuntunan Nabi Muhammad shallahu 'alai wa sallam adalah ibadah kepada Allah semata dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Itulah yang diperintahkan Allah kepada seluruh umat manusia dan hanya untuk itulah sebenarnya mereka diciptakanNya.

’’Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku’’. (Ad dzariyat:56)

Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. Ibadah juga berarti merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. (dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam tahqiq Syaikh’Ali bin Hasan bin‘Ali‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary hal. 161-162) Ibadah merupakan sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

Macam-macam Ibadah yang diprintahkan Allah adalah Islam, Iman, ihsan. Dan di antara bentuk nyatannya yakni Do’a,  Khauf (takut akan balasan Allah), Raja’ (Pengharapan), Tawakal, Raghbah (penuh minat), Rahbah (cemas),  khusyu’,  khasyah (takut karena keagungan Allah), inabah (taubat kembali kepada Allah), isyti’anah (minta pertolongan), isti’adzah (memohon perlindungan),  istighatsah (mohon pertolongan untuk diselamatkan), Dzabh (menyembelih atau berkurban), bernadzar dan lain sebagainya dari berbagai macam ibadah yang diperintahkan Allah, seluruhnya hanyalah milik Allah.Dalilnya Firman Allah 
’’Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah menyembah seorang pun didalamnya disamping (menyembah) Allah’’ .(Al Jin: 18)

’Barangsiapa memalingkan sesuatu jenis ibadah tersebut kepada selain Allah, maka ia adalah kafir lagi musyrik. Hal ini berdasarkan firman Allah

’’Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain disamping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya disisi Rabbnya, sesungguhnya orang kafir itu tiada beruntung’’.(Al Mu’minun: 117)

Adapun macam-macam ibadah yang Allah perintahkan harus diberikan hanya kepada-Nya yakni

Do’a
Dalam sebuah Hadits, Nabi bersabda,’’Do’a adalah intinya Ibadah.’’ Dalil yang menguatkan adalah firman Allah
“Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdo’alah kamu kepadaku niscaya akan Ku perkenankan bagimu’. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beibadah kepadaKu pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina.” ( Ghafir: 60). 
Ayat ini menunjukkan bahwa, doa adalah salah satu bentuk ibadah, jika do’a bukan merupakan ibadah tentunya tidak mungkin Allah berfrman
’’Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan mauk Neraka Jahanam dalam keadaan hina’’( Ghafir: 60)

Maka barangsiapa meminta sesuatu pada selain Allah yang tidak mampu mengabulkan kecuali Allah, berarti dia telah berbuat syirik dan kafir, baik yang diminta orang hidup  ataupun yang sudah meninggal, karena orang yang telah meninggal tidak mungkin mampu melakukan hal-hal yang demikian, jika ia meminta kepadanya berarti dia memiliki  keyakinan bahwa yang mati memiliki kemampuan luarbiasa dialam ini karena itulah ia menjadi musyrik.
Do’a terbagi dua;
1.      Do’a permohonan artinya memohon untuk dipenuhi hajatnya dan kebutuhannya  hanya kepada Allah, karena hal tersebut mengandung unsur kebutuhan dan berserah diri kepada Allah dan itu merupakan nilai ibadah
2.      Do’a ibadah biasanya yang bersangkutan melakukannya sebagai penyembahan terhadap yang diseru dengan do’a tersebut, dengan harapan memperoleh balasan dan pahalaNya serta takut siksaanNya.

Khauf (Rasa Takut)
Takut atau gundah, yaitu reaksi atas munculnya kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang membahayakan, mengancurkan atau menyakitkan. Allah azza wa jalla melarang takut terhadap pengikut setan dan memerintahkan kita agar hanya takut kepadaNya.
Takut ada terbagi tiga macam :
1.      Takut Alamiah (khauf thabi’i), yang tidak tercela seperti takutnya orang kepada binatang buas, api, tenggelam dan lain-lain. Allah menceritakan tentang Nabi Musa  alaihis salam ‘’Karena itu jadilah Musa dikota itu merasa takut menunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya).’’ (Al Qashash:18)
2.      Takut yang bernilai Ibadah (khauf ibadah), yakni perasaan takut kepada yang disembah dan ini hanya milik Allah
3.      Takut yang bersifat tersembunyi ( khauf as-sirri), seperti takut kepada penghuni kubur atau wali yang jauh darinya yang tidak ada pengaruh apa apa baginya, hal ini menurut ulama adalah takut yang bernilai syirik

Raja’ ( Mengharap )
Keinginan seseorang terhadap sesuatu yang mungkin diperolehnya dalam waktu dekat atau waktu yang jauh tapi diposisikan sebagai sesuatu yang dekat, Raja’ mengandung sifat menyerah dan merendah diri, dan hal ini hanya mesti diberikan untuk Allah, siapa yang memalingkan kepada selain Allah maka akan mengakibatkan syirik kecil tergantung hati orang yang mengharapkannya.
‘’Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’’ ( Al Kahfi : 110)

Tawakal,
Tawakal  kepada Allah artinya bergantung dan bersandar kepada Allah dalam segala keperluan dan merasa cukup dengan yang ada pada Allah. Dan dalil bahwa tawakal merupakan bagian dari kesempurnaan iman seseorang firman Allah ’Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.’’(Al Ma’idah : 23) Ketahuilah tawakal kepada Allah, ini merupakan salah satu tanda dan bukti kesempurnaan dan kejujuran iman seseorang. Tawakal semacam ini wajib hukumnya. Iman seseorang tidak dikatakan sempurna sebelum tawakalnya kepada Allah sempurna, sesuai dengan dalil diatas. ’’Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).’’(Ath-Thalaq:3. Maka barangsiapa yang bertawakkal kepada selain Allah baik berupa batu, cincin, keris atau benda-benda lainnya yang tidak dijelaskan dalam syari’at ini maka dia telah terjerumus kepada perkara kesyirikan yang dapat membatalkan amalan ibadahnya.

Raghbah (penuh minat), adalah berkeinginan untuk mendapakan sesuatu yang dicintai

Rahbah (cemas), adalah perasaan cemas yang menimbulkan keinginan untuk melarikan diri yang ditakutinya.Dan ini adalah rasa takut yang dibarengi dengan perbuatan.

Khusyu’ adalah tunduk dan merendah terhadap kebesaran Allah dengan berserah diri sepenuhnya terhadap kebesaran Allah dengan berserah diri sepenuhnya terhadap keputusannya, baik yang terjadi dialam semesta ataupun yang bersumber dari syara’.Firman Allah azza wajalla
’’Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik. Dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.’’(Al Anbiya’ : 90)

Khasyah (takut karena keagungan Allah), ’’Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah para ulama.’’(Fathir : 28), yaitu orang yang paham dan mengerti akan keagungan Allah dan kesempurnaanNya

Inabah (kembali kepada Allah), kembali dan pasrah diri kehadirat Allah dengan mengerjakan ketaatan dan menjauhi maksiat. Inabah ini hampir mendekati makna taubat, hanya saja inabah lebih lembut dibanding taubat karena ia punya makna bergantung dan berserah diri hanya pada Allah, firmannya ’’Dan kembalilah kamu pada Tuhanmu dan berserah dirilah padaNya (tunduk kepada aturan syari’at Allah)’’( Az Zumar : 54)
dan ada cabang dari berserah diri yaitu Islam Kauni (tunduk terhadap aturan Allah yang terjadi di alam semesta ini, yang sifatnya umum), dan Islam Syar’i (tunduk terhadap aturan Allah yang ditetapkan dalam syari’at) ini khusus bagi mereka yang mau mengikutiNya.

Isyti’anah (meminta pertolongan), ’’Hanya kepada Engkau lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau lah kami meminta pertolongan.’’(Al Fatihah : 5), makna dari ayat itu adalah, permohonan yang mengandung sikap merendahkan diri yang total dari seorang hamba kepada Tuhannya, menyerahkan semua urusan kepadaNya dan meyakini bahwa hanya Dia-lah yang bisa mencukupinya, dan hal ini hanya diperuntukkan pada Allah.

Isti’adzah (mohon perlindungan), ’’Katakanlah, Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari kejahatan bisikan syetan yang biasa tersembunyi , yang membisikkan kejahatan ke dada manusia, dari golongan jin dan manusia.’’(An-Nas : 1-6).

Istighatsah (mohon pertolongan untuk diselamatkan), meminta bantuan kepada Allah, ini adalah amal kebaikan yang paling utama dan sempurna, dan ini yang dilakukan oleh Rasul dan para pengikutnya. ’’Ingatlah tatkala kamu memohtuan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankannNya bagimu, Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’’(Al Anfal : 9)

Dzabh (Menyembelih), artinya menghilangkan nyawa (hewan ternak) dengan cara mengalirkan darah dengan cara tertentu, hal ini dapat dalam bentuk macam-macam. Menyembelih termasuk ibadah ’’Katakanlah, sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagiNya.’’(Al An’am 162-163), Sembelihan diperbolehkan jika diperuntukan untuk memuliakan tamu tetap dengan niatan karena Allah ’’Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya mereka dia memuliakan tamunya.’’ (HR. Bukhari dan Muslim) Maka barangsiapa yang menyembelih hewan ditujukan untuk selain Allah maka dia telah terjerumus kepada perkara kesyirikan, baik untuk haul, ataupun sesajen maupun larungan.

Nadzar, maksudnya mewajibkan sebuah perkara yang sebelumnya tidak Allah wajibkan atas dirinya. Memenuhi nadzar hukumnya wajib apabila yang dinadzarkan bukan merupakan perkara yang dilarang oleh Allah. Firman Allah, ’’Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata dimana-mana.’’(Al Insan: 7) ayat ini menunjukkan bahwa nadzar termasuk ibadah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah, hendaknya ia taat kepada-Nya. Dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, ia jangan bermaksiat kepada-Nya.” (HR. Al Bukhari dalam Shahihnya)

Wallahu’alam.

Senin, 28 Februari 2011

Penghalang Meraih Ilmu

 
Sungguh menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslimin yang harus dipenuhi setiap muslim pada Rabb-Nya.  Alloh subhanallahu wata’ala membedakan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Allah Ta’ala berfirman: “Katakan, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” (QS. Az-Zumar: 9). Demikian juga: “Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS: Al-Mujaadalah: 11)
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda “Menuntut ilmu kewajiban bagi setiap Muslim.” [HR. Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri] 
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan, syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi, perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan kewajibannya.
Ternyata dalam menuntut ilmu terdapat rintangan-rintangan atau kerikil-kerikil tajam sehingga seorang muslim terhalang dari keberkahan ilmu yang semestinya dia capai. Maka perlu diketahui pada setiap muslim hal apa saja yang dapat menghalanginya dari keberkahan ilmu dan dihindarkan ada pada dirinya.
Rintangan menuntut ilmu

1.       Tidak ikhlas dalam menuntut llmu
Sifat-sifat penuntut ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam adalah ikhlas dalam menuntut ilmu. Sebab dengan keikhlasan ini akan menghantarkan seseorang kepada tingkatan hamba yang sangat butuh kepada ilmu dan membentenginya dari riya’ (ingin dipuji oleh orang lain) dan sebagainya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari apa-apa yang dia cari dengannya wajah Allah Azza wa Jalla. Tidaklah dia belajar kecuali untuk memperoleh bagian dari dunia, maka dia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat.” [HR Ibnu Majah, Al Muqadimah 1/252 dan Ahmad, Al Musnad 2/338]

2.       Tidak bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu
Bersungguh-sungguh dan berkeinginan keras dalam mencari ilmu sangat menentukan keberhasilan memperoleh ilmu. Terlebih lagi dalam menuntut ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Diriwayatkan bahwa dahulu seorang laki-laki datang kepada Abu Hurairah, ia berkata: aku ingin belajar ilmu dan aku khawatir akan menyia-nyiakannya. Abu Hurairah menjawab, cukuplah jika engkau tidak menyia-nyiakannya [Dakwah Islam Dakwah Bijak, Dr. Said bin Ali bin Wahif Al Qahthani].
Ketika ditanya tentang bagaimana cara memperoleh ilmu, sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa cara memperoleh ilmu adalah dengan kemauan keras, senang mendengar dan mencarinya, mengajarkan kepada yang tidak tahu, dan belajar kepada yang tahu. Jika hal itu telah dilakukan, berarti kita telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dan memelihara sesuatu yang telah kita ketahui. Dalam kaitan ini, Imam Syafi'i mengatakan. Kamu tidak akan memperoleh ilmu, kecuali dengan enam hal: kecerdasan, gemar belajar, sungguh-sungguh, memiliki biaya, bergaul dengan guru, dan perlu waktu lama .

3. Maksiat


Menjauhi segala maksiat dengan bertakwa kepada Allah. Hal ini merupakan faktor terpenting untuk memperoleh ilmu. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon/pembeda... (Al Anfal: 29). Ayat ini menegaskan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi ilmu, sehingga ia akan mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Imam Syafi'i pernah mengeluh kepada Waki' (guru) tentang kesulitannya dalam menghafal. Kemudian Imam Waki’ berkata kepada Imam Syafi'i, “ilmu itu merupakan cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

4.       Sombong dan malu
Tidak sombong (merendahkan seseorang, menolak kebenaran) dan tidak malu bertanya dalam mencari ilmu. Aisyah pernah mengatakan,Wanita terbaik adalah wanita kaum Anshar, karena mereka tidak malu bertanya tentang agama.
Dari Ummu Salamah, dia berkata. 'Ummu Sulaim pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata. 'Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak merasa malu dari kebenaran. Lalu apakah seorang wanita itu harus mandi jika dia bermimpi ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab. 'Jika dia melihat air (mani)'. Lalu Ummu Salamah menutup wajahnya, dan berkata. 'Wahai Rasulullah, apakah wanita itu juga bisa bermimpi ? 'Beliau menjawab. 'Ya, bisa'. Maka sesuatu yang menyerupai dirinya adalah anaknya".

 5. Tidak mengamalkan ilmu

Apa yang telah didapat dalam menuntut ilmu hendaknya diamalkan agar mendapat keberkahan dari ilmu yang dituntutnya. Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al-Kahfi :18)

Kita memohon kepada Allah agar dibukakan pintu hati kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mencurahkan kepada jiwa kita perasaan cukup terhadap nikmat-nikmat yang diberikan-Nya.

Dimana Allah....?


Kita mendapati di antara kaum muslimin di zaman ini, bermacam-macam keyakinannya atas pertanyaan “Dimana Allah?”. Di antaranya ada yang berkeyakinan bahwa (secara dzat-Nya) Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di hati, bahwa Allah itu berada dimana-mana, bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher, bahwa Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bersatu dengan hamba-Nya. Lebih parah lagi, ada juga yang berkeyakinan bahwa Allah itu tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di depan, dan tidak pula di belakang. Sungguh ini adalah pernyataan yang sangat lucu. Lantas dimana Allah?!. Padahal kalau kita mau mengikuti fitrah kita yang suci, sebagaimana fitrahnya anak yang masih kecil, pemikiran mereka yang masih polos. Kita akan dapati jawaban dari lisan-lisan kecil mereka, jikalau mereka ditanya, “Dimana Allah?” Mereka akan menjawab, “Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit”.
Aqidah (keyakinan) tentang keberadaan Allah di langit (artinya, di atas Arsy), ini telah dijelaskan dalam Kitabullah, As-Sunnah, ijma’, dan komentar para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam kitab-kitab mereka. Mereka sudah patenkan (tetapkan) bahwa barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia adalah ahli bid’ah, dan menyimpang.
Dalil-dalil masalah ini sangatlah banyak dari Al-Qur’an, dan As-Sunnah. Berikut ini kami akan sebutkan -insya Allah- beberapa di antaranya saja, dan sebenarnya tidak terbatas.
Dalil dari al-Qur’an
·         “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy (singgasana)”. (QS. Thoha: 5)
·         “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy”. (QS. Al A’raf: 54)
·         “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan”. (QS. Yunus: 3)
·         “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy”. (QS. Ar Ra’d: 2)
·         “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy”. (QS. Al-Furqon: 59)
·         “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy”. (QS. As-Sajadah: 4)
·         “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”. (QS. Fathir: 10)
Al-Hafizh Al-Baihaqy-rahimahullah- berkata dalam Al-I’tiqod (1/114), “Ayat-ayat itu merupakan dalil yang membatalkan pendapat orang Jahmiyyah yang menyatakan bahwa Dzat Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berada dimana-mana”.
Dalil dari Hadits
·         Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Ketika Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menciptakan makhluk-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menuliskan di dalam kitab-NYa (Lauh Mahfudz) yang ada di sisi-Nya di atas Arsy (singgasana) ‘Sesungguhnya rahmat Allah mendahului kemurkaan-Nya.” [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3022, 6969, dan 6986), dan Muslim dalam Shohih-nya (2751)]

·         Dari Abu Sa’id Al-Khudri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
 “Tidakkah kalian percaya kepadaku? Sementara aku dalam keadaan beriman kepada Yang di langit. Datang kepadaku berita dari langit di waktu pagi hari dan petang…”. [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (4094), Muslim dalam Shohih-nya (1064)]
Perkataan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Al-Qurthuby -rahimahullah- dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (7/219) berkata, “Tidak ada seorang salaf pun yang mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas Arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan karena ia merupakan makhluk Allah yang terbesar. Para salaf tidak (berusaha) mengetahui cara Allah bersemayam, karena sifat bersemayam itu tidak bisa diketahui hakekatnya. Imam Malik -rahimahullah- berkata: [‘Sifat bersemayam itu diketahui maknanya secara bahasa, tidak boleh ditanyakan cara Allah bersemayam, dan pertanyaan tentang cara Allah bersemayam merupakan bid’ah dan ajaran baru”].
Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (7/129), “Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas Arsy, di atas langit ketujuh sebagaimana yang ditegaskan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Itu juga merupakan hujjah mereka terhadap orang-orang Mu’tazilah yang berkata: “[Allah berada di mana-mana, bukan di atas Arsy]”.Dalil yang mendukung kebenaran madzhab Ahlis Sunnah dalam hal ini adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Ar-Rahman bersemayam di atas Arsy” dan firman-Nya Azza wa Jalla: “Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy…”.
Imam Al-Qurthuby-rahimahullah- berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (4/162): “Jahmiyyah terbagi menjadi 12 kelompok … (di antaranya) Al-Multaziqoh, mereka menganggap bahwa Allah berada di mana-mana …”.
Shodaqoh-rahimahullah- berkata, “Saya mendengar At-Taimy berkata,“Andaikan aku ditanya : Dimana Allah Tabaraka wa Ta’ala?, niscaya aku akan jawab: Dia di langit”. [Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/671)]
Imam Malik bin Anas-rahimahullah- berkata, “Allah berada di langit, sedang ilmu-Nya berada di mana-mana, tidak ada satu tempatpun yang kosong dari ilmu-Nya”.[Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401/673)]
Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- pernah ditanya, “Allah -Azza wa Jalla- berada di atas langit yang ketujuh, di atas Arsy terpisah dari makhluk-Nya. kemampuan dan ilmu-Nya berada di mana-mana?” Beliau Jawab : “Ya, Dia berada di atas Arsy. Sedang tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu-Nya”. [Lihat Syarah I’tiqod Ahlis Sunnah (3/401-402/674)]
Imam Ahmad -rahimahullah- juga berkata, “Jika anda ingin mengetahui bahwa seorang Jahmiyyah itu berdusta atas nama Allah, yaitu saat ia menyangka bahwa Allah berada dimana-mana”.[Lihat Ar-Rodd ala Az-Zanadiqoh wa Al-Jahmiyyah (1/40)]
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Adapun firman Allah Ta’ala :
 “Lalu Dia bersemayam di atas Arsy”.
Orang-orang memiliki pendapat yang sangat banyak dalam masalah ini, tapi sekarang bukan saatnya kita paparkan. Dalam masalah ini kita harus mengikuti madzhab Salafush Sholeh, seperti Imam Malik, Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Al-Laits bin Sa’d, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rohuyah, dan lainnya dari kalangan ulama-ulama kaum muslimin baik dulu maupun sekarang. Madzhab mereka adalah menjalankan dan memahami sifat-sifat tersebut sebagaimana ia datang, tanpa perlu dibicarakan cara/bentuknya, atau diserupakan dengan sifat makhluk dan dihilangkan maknanya. Sedang yang terbayang dalam benak orang-orang Musyabbih (orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya)tersucikan dari Allah, karena tidak ada seorang makhlukpun yang menyerupai-Nya [‘Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Sedang Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’]. Bahkan inti permasalahannya sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama, seperti Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’iy. Beliau berkata : [‘Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang menolak sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Tidak ada penyerupaan pada sesuatu yang Allah sifatkan untuk diri-Nya. Barangsiapa yang menetapkan (sifat) bagi Allah sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat yang gamblang, dan hadits-hadits shohih dengan bentuk yang sesuai dengan kemuliaan Allah dan menyucikan segala kekurangan dari Allah, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang lurus”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/221)]
Dari semua dalil-dalil, dan pernyataan ulama salaf tersebut menunjukkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy (singgasana), sedang Arsy Allah berada di atas langit, bukan dimana-mana. Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengimani dengan keimanan yang kokoh, tanpa ragu terhadap semua dalil-dalil yang menerangkan hal tersebut, dan menghadapinya sebagaimana ia datang, tanpa takwil, dan tanpa menanyakan cara Allah bersemayam, atau menyerupakannya dengan makhluk-Nya.
Jadi, madzhab Ahlis Sunnah menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, namun ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Adapun aqidah yang menyatakan bahwa Allah berada dimana-mana, bukanlah merupakan aqidah Ahlis Sunnah, akan tetapi merupakan aqidah ahli bid’ah yang batil berdasarkan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah di atas Arsy beserta keterangan Ulama Ahlis Sunnah yang telah kami sebutkan.
Ini adalah aqidahnya para nabi, para sahabat, para tabi’in, dan para pengikut tabi’in sebagai generasi terbaik dari umat ini dalam memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena merekalah yang menyaksikan turunnya wahyu, dan sebab sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- diucapkan oleh beliau.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufiq dan pemahaman yang lurus serta agar kita termasuk dari golongan mereka dan dijauhkan dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang.
Allahu ta‘ala a’lam.

MENGAKUI RUBUBIYAH ALLAH SAJA TIDAKLAH CUKUP


Pembaca yang mudah-mudahan dirahmati Allah. Setiap kita meyakini akan keberadaan Allah, Dzat yang menciptakan alam semesta beserta isinya, dimana kita melihat tatasurya yang begitu mengagumkan berjalan dalam keteraturan sesuai kehendak-Nya, Dia menjadikan hamparan langit terpancang kokoh tanpa tiangnya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikan semua ciptaan-Nya, Dia yang menurunkan hujan atau menahannya, Dia menjadikan hujan tersebut bermanfaat bagi segenap mahluk-Nya, Dia memberikan setiap hamba rizkinya, hanya Dia pula yang mampu untuk menolak penyakit, mudlorot, bala dan musibah yang menimpa kaum muslimin secara khusus dan umat manusia secara umum.

Beberapa keyakinan seperti yang telah kami sebutkan diatas merupakan keyakinan ataupun kepercayaan yang juga diyakini oleh kaum musyrikin pada saat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam diutus ditengah-tengah mereka. Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menggambarkan keyakinan mereka,

"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: 'Allah', ..." [Az-Zukhruf : 87]

"Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?', niscaya mereka akan menjawab: 'Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui" [Az-Zukhruf : 9]

"Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab: "Allah". [Yunus : 31]

Perhatikan pula bukti-bukti bahwa kaum musyrikin dizaman dahulu telah mengakui rububiyah (perbuatan-perbuatan yang khusus hanya Allah saja yang mampu melakukannya) Allah berikut ini,

Bukti pertama, yakni perkataan Abdul Muthtalib tatkala Ka’bah akan dihancurkan oleh pasukan Abrahah, “Aku adalah pemilik onta-onta itu. Adapun rumah itu (Ka’bah) mempunyai pemilik yang akan memeliharanya”. [Baca buku As Sirah An Nabawiyyah Fi Dhaui Al Qur`an Wa As Sunnah, dan Ar Rahiqul Makhtum]

Bukti kedua, yakni perkataan kaum musyrikin tatkala mereka bertalbiyah, “Kami memenuhi panggilanmu Ya Allah, kami memenuhi panggilanmu, tidak ada sekutu bagiMu, kecuali sekutu milik-Mu yang Engkau menguasainya dan dia tidak memiliki apa-apa". (Lihat Buku Tafsiir Al-Qur'aan Al-'Adziim 10/528, Buku Tafsir At-Thobari 13/376 dan hadits riwayat Imam Muslim No. 2872)

Bukti ketiga, banyak orang-orang Arab yang bernama Abdullah sebelum dilahirkannya Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wa sallam. Diantaranya adalah ayah Nabi yang bernama Abdullah. Dan Abdullah artinya hamba Allah, maka hal ini menunjukan bahwa mereka sudah mengenal Allah meskipun Nabi Muhammad shallaallahu 'alaihi wa sallam belum dilahirkan.

Penyimpangan Tauhid Rububiyah
Sungguh kita hidup pada zaman dimana kekeliruan itu semakin jelas bagi orang-orang yang Allah karuniakan pemahaman agama yang baik. Dengan pemahamannya atas agama Allah ini, mereka akan berjalan dengan pasti. Mereka berjalan dengan keyakinan yang mantap dimana sebuah kesalahan itu akan tetap merupakan kesalahan, dan kebenaran terlihat sebagai sebuah kebenaran. Mereka tidak tergoyahkan karena cahaya ilmu yang Allah anugerahkan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?“ (Al-An’am : 122).

Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kutinggalkan kalian di atas agama yang terang, malamnya bagaikan siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya sepeninggalku kecuali orang yang binasa” (HR Ibnu Majah No 43 dari Irbadh bin Sariyah, dinilai shahih oleh al Albani).

Penyelisihan atas tauhid rububiyah terjadi tatkala kita meyakini bahwa Allah memiliki sekutu yang juga mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang merupakan kekhususan bagi Allah azza wajalla. Kita meyakini bahwasannya Allah Ta’ala yang mengatur alam semesta beserta isinya. Beberapa contoh penyelisihan terhadap tauhid rububiyah diantaranya,
1)      Keyakinan bahwa Dewi Sri yang memberikan kesuburan atas setiap petak sawah dan ladang, padahal kesuburan maupun paceklik terjadi atas kehendak Allah
2)      Keyakinan bahwa Nyi Roro Kidul yang menguasai pantai selatan, sehingga menyandarkan kemakmuran penduduk maupun kesempitan terjadi atas sebab sang ratu pantai selatan
3)      Keyakinan bahwa kekuatan baik dan kekuatan jahat yang berbuat secara mandiri dialam ini
4)      Keyakinan bahwa wali-wali kutub memiliki hak untuk mengatur daerah-daerah tertentu.
5)      Keyakinan akan adanya pawang hujan, ataupun mereka yang mampu memindahkan penyakit dari mahluk ke mahluk yang lain.

Konsekuensi Meyakini Rububiyah Allah
Ayat-ayat yang menggambarkan keyakinan kaum musyrikin dahulu atas rububiyah Allah banyak sekali akan kita jumpai didalam Al-Qur'an. Maka barangsiapa yang mengira bahwa tauhid itu cukup dengan hanya meyakini wujud Allah, atau meyakini bahwa Allah adalah Al-Khaliq yang mengatur alam, pencipta, pemberi rizki, mendatangkan manfaat atau menolak bala’ maka sesungguhnya orang tersebut belumlah mengetahui hakikat tauhid yang dibawa oleh para rasul. Keyakinan seorang hamba atas rububiyah Allah mewajibkan dia untuk mentauhidkan Allah dalam uluhiyyah. Memurnikan peribadahan kita dari sholat, puasa, nadzar, haji, menyembelih, pengagungan, penghormatan, rasa takut, do'a, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam, semua itu wajib secara akal, syara' dan fitrah agar ditujukan khusus kepada Allah semata. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." [Al-Baqarah : 21-22]

Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyembah-Nya dan beribadah kepada-Nya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, yaitu penciptaanNya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba. Maka sangat tidak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah dengan selain-Nya; dari benda-benda atau pun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak mampu melakukan satu pun dari hal-hal yang tersebut pada ayat di atas.

"Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah Pemilik langit yang tujuh dan Pemilik `Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [Al-Mu'minun : 84-89]

"(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah dengan benar) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; ..." [Al-An'am : 102]

Dia berdalil dengan tauhid rububiyah-Nya atas hak-Nya untuk disembah. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." [Adz-Dzariyat : 56]

Makna "ya'buduun " adalah mentauhidkan-Ku dalam ibadah. Seorang hamba tidaklah menjadi muwahhid hanya dengan mengakui tauhid rububiyah semata, tetapi ia harus mengakui tauhid uluhiyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun telah mengakui tauhid rububiyah, tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk dalam Islam, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Wallohu a’lam